Kamis, 29 Oktober 2009

ada kalanya orang harus berpijak ,

berpijak pada kebenaran yang hakiki .

alam semesta adalah suatu kebenaran ciptaan ALLAH ,

kebenaran ALLAH yang harus kita jaga dan kita rawat .

agar bumi tidak menangis . wahai sang pecinta alam ,

tapakilah bumi ini dengan pedulimu .

Minggu, 13 September 2009

FAKTOR PENDUKUNG KEGIATAN ALAM BEBAS

Faktor Pendukung Dalam Dunia Kepecintaalaman
(Arie Budi Leksono “Longor”,Ketua Umum Gapadri)

Dorongan untuk melakukan petualangan dialam terbuka menyebabkan para penggiatnya melakukan berbagai kegiatan perjalanan, mulai dari perjalanan kecil, pendakian gunung, penyusuran pantai, pengarungan sungai berarus deras sampai dengan perjalanan besar-besaran yang sering disebut dengan ekspedisi.

Perjalanan tersebut dilakukan dengan berbagai tujuan, mulai dari tujuan eksplorasi, survei, maupun hanya sekedar berjalan-jalan. Semua jenis perjalanan tersebut dengan tujuan masing-masing memerlukan persiapan yang baik, mengingat keadaan dialam terbuka menghadapkan kita pada keadaan yang dapat membahayakan jiwa kita dan apabila kita pahami akan memberikan kenikmatan berpetualang yang mengasyikkan.

Banyak kejadian kecelakaan dalam kegiatan alam terbuka yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan maupun keterampilan yang dimiliki oleh para penggiatnya, hal ini merupakan hasil evaluasi dari berbagai operasi SAR yang pernah dilakukan , sesungguhnya hal ini dapat dihindarkan dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan, sehingga para penggiat alam terbuka mempunyai kemampuan yang memadai.

Kategori kemampuan yang diperlukan oleh para penggiat kegiatan alam terbuka antara lain adalah sebagai berikut :
Kemampuan Teknis, kemampuan teknis yang dimaksud disini adalah kemamuan yang berhubungan dengan ritme dan keseimbangan gerakan serta efisiensi penggunaan perlengkapan.
Kemampuan kebugaran, mencakup kebugaran spesifik yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu, kebugaran jantung dan sirkulasinya serta kemampuan pengkondisian tubuh terhadap tekanan lingkungan alam.
Kemampuan kemanusiawian, yaitu mengembangkan sikap positif ke segala aspek untuk meningkatkan kemampuan, hal ini mencakup determinasi (kemauan), percaya diri, kesabaran, konsentrasi, analisa dini, kemandirian serta kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.
Kemampuan pemahaman lingkungan, yaitu mengembangkan kewaspadaan terhadap bahaya dari lingkungan yang spesifik .

Keempat kemampuan tersebut tidaklah mudah untuk dikuasai dengan baik, namun perlu diingat bahwa penguasaan kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam kegiatan alam terbuka.

Semoga dari tulisan yang sedikit ini kita dapat memahami betapa pentingnya pendidikan dialam terbuka pada umumnya dan kegiatan perjalanan pada khususnya. Kerumitan yang seakan menjadi beban dalam persiapan perjalanan tentunya tidak menyurutkan semangat kita untuk berpetualang. Tetaplah ingat bahwa apapun tujuan yang kita lakukan, kita ingin kembali pulang dengan selamat.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Mencintai Alam

Mencintai Alam

Mencintai alam sebenarnya dapat dimulai dari kita sendiri. Kenapa kita bisa begitu takut untuk mebuang sampah sembarangan di rumah kita sendiri sementara di jalan kita membuang sampah sembarangan? Kenapa kita begitu semangatnya mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk menyewa konsultan penata taman di rumah kita sementara kita menggunduli hutan kita?

Kalau semua orang berpikir ke belakang seperti itu, sebenarnya kita sudah menjadi seorang pecinta alam. Tinggal sekarang bagaimana implementasi kita.

STOP! membuang sampah sembarangan

STOP! menebangi hutan

STOP! mencemari udara

Kita memang hidup tidak lama lagi, tapi sebelum kita berakhir kita sudah melahirkan keturunan kita. Apa yang akan mereka makan kalau semua tanah tidak dapat ditanami akibat terkontaminasi sampah kimia dan plastik? Apa yang akan mereka minum kalau sudah tidak ada lagi hutan sebagai penyerap air tanah. Udara apa yang harus mereka hirup untuk bernafas kalau udara di bumi ini sudah tercemar asap polusi pabrik, polusi nuklir dan sebagainya.

Marilah kita cintai alam ini seperti kita mencintai diri kita sendiri dan orang – orang yang kita cintai. Karena kita dan mereka adalah bagian dari alam itu sendiri.

Kita bagian dari alam yang akan selalu bergantung pada alam termasuk alam itu sendiri yang tetap bergantung pada kita. Karena tidak ada alam semesta ini tanpa kita dan begitu pula sebaliknya tidak akan ada manusia tanpa alam semesta.

Senin, 29 Juni 2009

belajar panjat

1. Bergerak

Bergerak pada tebing lebih menuntut perhatian kita dalam menggunakan kaki. Pijakan kaki yang mantap akan lebih memudahkan kita dalam bergerak dan untuk memperoleh keseimbangan tubuh. Seorang yang baru belajar panjat tebing biasanya akan memusatkan perhatian pada pegangan tangan. Hal ini justru akan mempercepat lelah dan kehilangan keseimbangan.

Tangan sebenarnya hanya membantu kaki dalam mencapai keseimbangan tersebut, kecuali untuk kasus-kasus tertentu, seperti melewati overhang, layback, dsb. Untuk itu, bagi pemula sebaiknya memusatkan perhatian untuk mencari pijakan (foot hold). Dan membisikkan pada dirinya sendiri “lihat ke bawah....!”.

Unsur terpenting dalam panjat tebing adalah keseimbangan; bilamana menempatkan tubuh, sehingga beban tubuh dapat terpusat pada titik-titik pijakan. Prinsip tiga point sangat baik untuk diterapkan. Yaitu hanya menggerakan satu anggota badan saja (kaki kiri/kanan dan tangan kiri/kanan), sementara tiga anggota badan lain tetap pada pijakan/pegangan.

Kesalahan lain yang biasa dibuat oleh seorang pemanjat pemula adalah menempelkan tubuhnya rapat ke tebing. Hal ini justru merusak keseimbangannya. Tubuh yang menempel pada tebing akan menyusahkan seorang pendaki dalam bergerak.

Dalam melakukan gerakan, tidak perlu mencari pegangan yang terlalu tinggi karena akan cepat menguras tenaga. Seperti halnya bila kita berjalan dengan langkah lebar tentu akan cepat lelah. Bergeraklah seperti ‘puteri solo’, melakukan langkah kecil, tenang tapi pasti.

Hal lain yang mendukung dalam setiap jenis olahraga adalah semangat. Dengan berlatih serius tentu kita akan dapat bergerak dengan anggun. Ada perkataan seperti ini, “The best training for rock-climbing is rock-climbing”, ya berlatih panjat tebing sebaiknya ditebing, melakukan panjat tebing itu sendiri.

Sekali lagi, cobalah untuk mengingatkan diri sendiri dengan membisikkan kata-kata, “lihat ke bawah....”.

2. Menggunakan Kaki
Dalam setiap gerakan, pengerahan energi harus diperhitungkan, sehingga pada saat dibutuhkan, energi tersebut dapat dikerahkan secara penuh. Konservasi energi dengan koordinasi antara otak dengan tubuh adalah keseimbangan antara apa yang terpikir dan apa yang mampu dilakukan tubuh kita.

Posisi telapak kita jelas akan menentukan ketepatan titik beban pada kaki. Menempelkan lutut pada tebing justru akan merusak keseimbangan. Usahakan untuk merencanakan penempatan kaki dahulu sebelum mencari pegangan tangan. Gambar di bawah menunjukkan beberapa penempatan kaki.

3. Menggunakan Tangan
Setelah menempatkan posisi kaki dengan benar, tangan akan membantu dalam mencapai keseimbangan tubuh seseorang pendaki dengan memanfaatkan rekahan atau tonjolan batu. Rekahan tersebut bisa berupa rekahan kecil dan besar yang cukup untuk seluruh badan. Tonjolan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, tonjolan tajam (incut), tonjolan datar (flat), dan tonjolan bulat (rounded/sloping).

Berdasarkan retakan dan tonjolan tebing, maka pegangan dapat dibagi menjadi beberapa macam:

a. Pegangan biasa
Untuk tonjolan yang cukup besar (incut dan flat), seluruh tangan dapat digunakan, tapi ada kalanya sangat kecil sehingga hanya jari yang dapat digunakan.


gambar 13. Flat Hold, Pressure push hold

b. Pegangan Tekan (pressure push hold)
Pegangan ini diperoleh dengan cara mendorong tangan pada bidang batu yang cukup luas.

c. Pegangan Jepit
Jenis ini dipakai untuk tonjolan bulat (rounded atau slopping). Kalau tonjolan ini cukup besar bisa seluruh tangan digunakan, tetapi bila kecil hanya jari saja yang digunakan.

d. Jamming
Pegangan ini dilakukan secara khusus, yaitu dengan cara menyelipkan tangan sehingga menempel dengan erat. Sesuai besar kecilnya celah batu jamming dibagi atas beberapa macam:

- jamming dengan jari atau tangan (finger and hand jamming)
- jamming dengan kepalan atau lengan (fist and arm jamming)

gambar 14. Jamming

4. Gerakan Khusus Dalam Panjat Tebing
Dalam bergerak, sering dijumpai kondisi medan yang sulit dilewati dengan hanya mengandalkan teknik pegangan biasa. Untuk itu, ada beberapa gerakan khusus yang penting diketahui.

a. Layback
Diantara dua tebing yang berhadapan dan membentuk sudut tegak lurus, sering dijumpai suatu retakan yang memanjang dari bawah ke atas. Gerakan ke atas untuk kondisi tebing seperti itu dengan mendorong kaki pada tebing di hadapan kita dan menggeser-geserkan tangan pada retakan tersebut ke atas secara bergantian pada saat yang sama. Gerakan ini sangat memerlukan pengerahan tenaga yang besar, karenanya gerakan harus dilakukan secara tepat sebelum tenaga kedua tangan habis.

b. Chimney
Bila kita menemukan dua tebing berhadapan yang membentuk suatu celah yang cukup besar untuk memasukkan tubuh, cara yang dilakukan adalah dengan chimney yaitu dengan menyandarkan tubuh pada tebing yang satu dan menekan atau mendorong kaki dan tangan pada dinding yang lain. Tindakan selanjutnya adalah dengan menggeser-geserkan tangan, kaki dan tubuh sehingga gerakan ke atas dapat dilakukan. Berdasarkan lebar celah batu yang kita hadapi, maka chimney dapat dibagi atas:

- Wriggling
Wriggling dilakukan pada celah yang tidak terlalu luas sehingga cukup untuk tubuh saja.

- Backing Up
Backing Up dilakukan pada celah yang cukup luas, sehingga badan dapat menyusup dan bergerak lebih bebas.

- Bridging
Bridging dilakukan pada celah yang sangat lebar sehingga hanya dapat dicapai apabila merentangkan kaki dan tangan selebar-lebarnya.

c. Mantelshelf
Dilakukan bila menghadapi suatu tonjolan datar atau flat yang luas sehingga dapat menjadi tempat untuk berdiri. Caranya yaitu dengan menarik tubuh dengan kekuatan tangan dan tolakan kaki sehingga dapat melalui tonjolan tadi. Salah satu kaki kemudian menginjak dataran batu tersebut sejajar dengan tangan, disusul dengan kaki yang lainnya.

d. Cheval
Cara ini dilakukan pada batu yang biasa disebut arete yaitu bagian punggung tebing batu dengan bidang yang sangat tipis dan kecil.Pendaki yang menggunakan cara ini mula-mula duduk seperti menungang kuda pada arete, lalu dengan kedua tangan menekan bidang batu dibawahnya, ia mengangkat atau memindahkan tubuhnya ke atas.

e. Traversing
Adalah gerakan menyamping atau horisontal dari suatu tempat ke tempat lain. Gerakan ini dilakukan untuk mencari bidang batu yang baik untuk dipanjat, untuk mencari rute yang memungkinkan menuju ke atas. Karena gerakan ini horisontal, biasanya lebih banyak digunakan tangan dari pada kaki (hand traveserse).

gambar 15. Traversing


f. Slab Climbing / Friction Climbing
Dilakukan pada tebing yang licin dan tanpa celah atau rekahan serta kondisi tidak terlalu curam.

5. Leading and Runners

a. Leading (memimpin pendakian)
Umumnya dalam setiap pendakian, harus ada seorang yang menjadi pendaki pertama (leader), biasanya dipilih seorang yang berpengalaman. Untuk menjadi leader dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang panjat tebing. Ketenangan dalam menyelesaikan rute-rute sulit, menempatkan piton-piton dan chock dengan tepat, keyakinan untuk bergerak ke atas dengan mulus serta dengan keyakinan pula menempatkan diri pada posisi istirahat. Bila rute tersebut masih asri / belum terjamah sebelumnya, maka menciptakan rute baru menurut seorang pendaki terkenal merupakan karya seni yang luar biasa. Untuk mengamankan dirinya dari kemungkinan jatuh, seorang leader akan menempatkan suatu rangkaian jalur pengaman pada tempat-tempat yang tepat. Jalur pengaman (runners) yang dibuat selurus mungkin, ini dimaksudkan untuk mengurangi gesekan antara karabiner dengan tali pengaman. Hal ini untuk mencegah copotnya runners.

b. Runners
Runners adalah tempat tumpuan tali pengaman yang dipasang oleh pendaki pertama untuk memperkecil jarak jatuh yang mungkin timbul. Semakin banyak runners yang dipakai, makin terjaga pula pengamanan untuk si pendaki. Akan tetapi banyak juga para pendaki yang beranggapan bahwa pemakainan runners harus sesedikit mungkin, untuk menjaga kelestarian tebing bersangkutan. Runners umumnya dipakai untuk proteksi pendaki pertama, akan tetapi untuk kasus-kasus tertentu bisa juga dipakai untuk proteksi pendaki kedua. Sesuai perkembangan peralatan panjat tebing, runners dapat dibentuk dari banyak alat. Akan tetapi pada prinsipnya runners dapat dibentuk dengan piton, sling, dan chock.

6. Belaying dan Anchor

a. Belaying
Merupakan hal yang penting dalam suatu rangkaian panjat tebing (claimbing chain). Belayer yang baik harus terlatih sehingga dapat menyelamatkan leader, bila leader terjatuh. Untuk itu dibutuhkan latihan, disamping memahami cara-cara yang tepat. Komunikasi antara belayer dengan leader harus jelas dan dimengerti oleh kedua belah pihak. Karena adakalanya leader minta belayer untuk mengendorkan tali (slack) ataupun mengencangkan tali (tension). Cara penempatan anchor untuk belayer dan teknik belay yang baik dapat dilihat pada gambar di bawah.

b. Anchor
Anchor (jangkar) adalah suatu titik keamanan awal dimana yang kita buat disangkutkan di sana. Anchor berguna untuk mengikatkan tali yang telah bersimpul tersebut dan dipakai untuk rappeling (turun), naik (memakai alat) atau untuk mengikatkan seseorang bila ia menjadi seorang belayer. Ada anchor alamiah yang relatif kuat dan ada pula anchor buatan dengan bantuan piton, bolt, chock, sling, dan etrier. Anchor buatan umumnya dipakai bila sama sekali tidak ada anchor alamiah misalnya pada suatu pitch di tengah-tengah tebing.

gambar 16. Membuat Anchor Bolt

c. Belaying dan penggunaan Runners
Ada beberapa pendaki yang senang melakukan panjat tebing seorang diri, tetapi kebanyakan kegiatan ini dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri dari beberapa pendaki. Dalam ‘free climbing’ beberapa alat pendakian juga digunakan, meskipun pemakaian terbatas untuk proteksi saja. Tali misalnya, bukan untuk memanjat atau pegangan, tapi untuk tali pengaman (safety rope) yang menghubungkan pendaki dengan pendaki lain yang menjadi belayer.

Demikian halnya alat-alat lain seperti karabiner, piton, chock atau sling yang semuanya digunakan untuk proteksi. Pendakian oleh satu kelompok dipandang sebagai suatu hal yang menjamin keamanan para pendaki. Pendaki pertama diikat dengan tali pengaman yang dihubungkan dengan pendaki kedua yang melakukan belaying. Untuk menghindarkan akibat jatuh yang fatal, maka jarak jatuh si pendaki dengan belayer harus dipersempit. Caranya yaitu dengan menempatkan runners (running belay) pada jarak-jarak di tebing batu. Dengan menempatkan runners sebanyak mungkin, diharapkan faktor kejatuhan (fall factor) dapat diperkecil.

Bila pendaki pertama berhasil mencapai tempat berpijak yang aman, maka sekarang ia membantu mengamankan pendaki kedua dengan memberikan belaying (upper belay). Jarak antara tempat pendaki pertama berpijak dengan pendaki kedua yang menjadi belayer (low belaying) secara teknis disebut “pitch”. Jadi banyak pitch pada satu tebing tergantung frekuensi belaying yang dilakukan.

7. Abseiling (Rapeling)
Setelah mencapai puncak tebing, persoalan berikutnya adalah bagaimana turun kembali. Pada saat turun, pandangan pendaki tidak seluas atau sebebas ketika mendaki. Inilah sebabnya mengapa turun lebih sulit dari pada mendaki. Karenanya alat sangat diperlukan pada saat turun tebing (abseiling/rapeling). Cara turun dengan menggunakan tali melalui gerakan atau sistem friksi sehingga laju luncur pendaki dapat terkontrol.

Berdasarkan pemakaian alat maka abseiling dapat dibagi atas : teknik tanpa karabiner (classic method) dan teknik dengan karabiner (crab method).

gambar 17. Abseiling

a. Teknik Dulfer
Cara klasik dalam turun tebing. Hanya menggunakan tali luncur (abseiling rope) yang diletakkan diantara dua kaki lalu menyilang dada dan melalui bahu. Laju turun ditahan dengan satu tangan.

b. Teknik Modified Dulfer
Teknik semi klasik. Menggunakan karabiner tersebut tali luncur menyilang ke salah satu bahu lalu dipegang oleh satu tangan untuk kontrol.

c. Teknik Komando
Di Indonesia, cara ini sering dipakai oleh para komando. Caranya dengan melilitkan karabiner dengan tali sebanyak dua kali, dan dengan melewati antara kaki maka laju badan dikontrol dengan gerakan tali luncur tersebut pada salah satu tangan. Adakalanya tali luncur tersebut tidak melalui dua kaki tetapi hanya satu paha, lalu gerakan friksinya diatur oleh tangan yang sejajar dengan paha tersebut.

d. Teknik Brake Bar
Empat buah karabiner disusun melintang sedemikian rupa sehingga merupakan sistem friksi (lihat kembali: descendeur), lalu tali luncur melewatinya dengan dikontrol oleh satu tangan pendaki. Sistem friksi kemudian dikembangkan dengan sistem descendeur khusus yang disebut bar crab.

Abseiling dengan penggunaan karabiner atau tanpa karabiner dilakukan pada tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Bila kita berhadapan dengan satu tebing yang panjang atau tinggi, maka cara ini tidak dianjurkan.Untuk kasus seperti itu dapat menggunakan descendeur, seperti figure of eight, bobbin atau brake bar.

Karena abseiling sangat tergantung pada alat yang dipakai maka persiapan penggunaanya harus betul-betul diperhatikan. Pastikan bahwa ikatan pada anchor benar-benar kuat. Periksa kembali apakah ujung tali telah disimpul. Sebaiknya selain abseile rope persiapkan juga safety rope yang diamankan oleh pendaki kedua.

Dengan memasang karabiner untuk meluncur, mutlak diperhatikan arah pintu (gate) karabiner tersebut. Ingat prinsip friksinya jangan sampai terbalik tetap gate karabiner. Kalau perlu screw gate karabiner.Tangan yang mengontrol laju tidak boleh dilepas, karena luncuran yang tidak terkontrol dapat berakibat fatal.

Jangan memaksa untuk melakukan lompatan pada abseiling, kecuali pada tebing yang menggantung (overhang). Turunlah perlahan-lahan, lompatan akan memberi tekanan pada tali sehingga kemungkinan tali lepas atau aus lebih besar. Lagi pula, lompatan sering membuat pendaki lepas kontrol dan mendarat kurang tepat.

8. Urutan Suatu Pendakian

a. Memilih rute
Pada umumnya dipilih berdasarkan data-data yang sudah ada, misalnya dari buku-buku panduan atau dari para pendaki yang pernah melewatinya.

b. Mempersiapkan peralatan
Persiapkan peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan rute yang dipilih.

c. Menentukan leader
Leader dipilih oleh mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Apabila dalam regu tersebut kemampuannya sama, leader dapat bergantian.

d. Mempersiapkan pendakian
- Buat anchor pada posisi yang tepat.
- Leader mempersiapkan diri, yaitu seluruh peralatan pendakian yang ditempatkan pada gantungan yang tersedia atau pada sekeliling harness.
- Belayer mempersiapkan diri, yaitu dengan mengikatkan diri pada anchor.
- Aba-aba. Apabila leader telah siap, dia akan berkata “ belay on” dan disahuti oleh belayer dengan “on belay”.

e. Memulai pendakian
- Leader naik menuju pitch (belayer harus seksama memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan oleh leader, cara memasang chock, melewati overhang/tebing atap/tebing yang menggantung istirahat, memasang sling, dsb.
- Leader menyangkutkan tali pengaman pada runner yang dibuatnya.
- Berikutnya kadang-kadang leader melakukan gerakan khusus atau menggunakan tangga untuk dapat terus naik.
- Bila leader jatuh akan tertolong oleh belayer bila runner telah terpasang kuat.
- Setelah cukup tinggi sekitar 40 meter lebih, leader akan mencari tempat yang cukup aman untuk memasang anchor.
- Adakala sebelum setinggi itu terdapat teras lebih baik anchor dipasang di sini. Bila leader merasa cukup aman terikat pada anchor yang dibuat dia akan berkata “belay off”
- Leader telah menyelesaikan pitch I

gambar 18. urutan pendakian

f. Belayer mempersiapkan diri untuk menyusul leader ke pitch I
- Langkah pertama ia akan membuat anchor
- Ujung tali yang dipakai untuk mem-belay disangkutkan pada tubuhnya
- Belayer melakukan cleaning up (membersihkan runner yang dibuat oleh leader). Biasanya ia dilengkapi oleh hammer yang berguna untuk mencopot piton.
- Belayer sebagai pendaki kedua sampai di pitch I

g. Meneruskan ke pitch I
- Bila ada pendaki ketiga, leader akan memasang fixed rope (tali tetap) untuk pendaki ketiga yang naik menggunakan ascendeur.
- Bila hanya berdua, akan dimulai proses pendakian seperti sebelumnya.

9. Artificial Climbing
Pada suatu keadaan tertentu dimana tebing tidak ada hold (tonjolan batu) tetapi hanya ada rekahan kecil yang tidak dapat digunakan untuk pijakan dan pegangan, maka pendakian akan menggunakan alat berupa piton, friend, chock serta etrier dalam menambah ketinggian.

Dalam hal ini etrier menjadi alat yang sangat vital sebagai pijakan. Dengan cara menempatkan etrier pada chock/friend/piton yang terpasang pada rekahan. Pendaki memasang lebih ke atas lagi chock/friend/piton, kemudian etrier dipindahkan pada chock/friend/piton yang terpasang tersebut. Demikian seterusnya berulang-ulang sehingga pendaki mencapai ketinggian yang diinginkan.

Demikianlah ringkasan suatu pendakian pada umumnya. Akhirnya makalah ini kami cukupkan sampai di sini. Untuk lebih jelas sebaiknya kita berlatih di lapangan/tebing.

gambar 19. aid climbing

Kamis, 11 Juni 2009

"PetuALang SeJaTi"

Apakah yang anda dapatkan selama ini ketika anda mendaki gunung-gunung,bertualang ke hutan dan tempat terpencil. . . ??

Apakah anda pernah merasakan perasaan sedih ketika anda meyadari keberadaan anda sebagai mahluk yang kecil dan tidak berarti apa-apa dibanding semua itu?

Pernahkan ketika anda berada di gunung anda merenung tentang semuanya?

Pernahkah anda menangis ketika melihat langit biru,lautan yang luas, gunung-gunung, awan yang berarak, hutan, pepohonan,air yang mengalir di bebatuan,kabut yang menutupi jurang dan lembah. . . ??

Pernahkan anda menangis ketika mendengar suara nyanyian burung-burung, suara gemericik air, suara angin yang berhembus diantara pepohonan, suara ombak, suara seranggga hutan dimalam hari ketika kegelapan dan kesunyian mulai menyelimuti alam??

Apakah yang anda rasakan dan pikirkan saat itu, Apakah anda pernah menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih Besar dan Hebat dibelakang semua itu?

Yang Membuat dan Mengatur semua itu. Siapakah dibelakang semua itu?

Pernahkan anda bersedih ketika melihat sampah-sampah plastik bertebaran di gunung dan hutan, hutan-hutan yang di hancurkan, binatang2 yang diburu, sungai2 yang tercemar oleh limbah . . . ??

Apakah anda sudah menemukan apa yang anda cari selama ini dengan pergi ke gunung, hutan atau tempat terpencil?

Apakah semua perjalanan selama ini bisa membuat anda lebih Mendekatkan diri kepada Zat yang Menciptakan semua itu dan menyadarkan diri anda yang tidak berarti apa-apa atau anda hanya ingin di puji orang atau hanya ingin mencari kebanggaan atau malah makin menjauhkan anda dariNya ? ? ?

Apakah anda sudah menjadi lebih bijaksana dalam hidup anda? Banyak orang yang dengan bangganya menyebut dirinya pencinta alam, petualang, pendaki gunung, tetapi mereka tidak mendapatkan apa2 dari perjalanannya selain hanya tubuh yang lelah dan pakaian kotor, bahkan banyak dari mereka yang menjadi bagian dari Perusak Alam.

"ALLAH menciptakan langit dan bumi dan seluruh isinya alam ini, agar kita selalu bersyukur dan beribadah kepadanya".

Alam ini diciptakan untuk dipelihara dan dijaga kelestariannya. Gunung, pohon, daun-daun, bunga-bunga, air, angin, batu-batuan, rerumputan, bahkan ulat, semut dan semua hewan yang ada didarat dan dilaut semuanya bersyukur kepada Allah.

Apakah kita juga seperti mereka? Bukankah kita ini manusia yang katanya mahluk yang berakal dan lebih mulia dari mahluk yang lain. Kalau semua itu tidak pernah anda rasakan dan pikirkan, Jadi apa tujuan anda selama ini? Apa yang anda dapatkan selama ini?

Banyak orang yg ketika muda begitu bersemangat bertualang tetapi ketika lulus sekolah,bekerja dan mereka berkeluarga, menikah dan punya anak mereka benar-benar berhenti, seakan melupakan semuannya,mereka sibuk dengan segala urusan, sehingga melupakan gunung,hutan dan alam.

kita lihat para penjelajah dan petualang di negri orang sampai tua mereka tetap bertualang, bahkan ada yang sudah berumur 70 tahun masih mendaki gunung himalaya,
apakah kita bisa seperti mereka? Kebanyakan dikita hanya latah dan ikut-ikutan saja, mereka menjadi pendaki gunung hanya untuk gagah-gagahan saja,sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam perjalanannya.

Jadikanlah apa yang anda jalani selama ini bukan hanya sebagai keisengan atau hobby semata tapi jadikanlah menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya dan menjadi Jalan Hidup anda.

Kamis, 04 Juni 2009

KODE ETIK PECINTA ALAM

KODE ETIK PECINTA ALAM INDONESIA


PENCINTA ALAM SADAR BAHWA ALAM DAN ISINYA

ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG MAHA ESA

PECINTA ALAM INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI

MASYARAKAT INDONESIA SADAR AKAN TANGGUNG JAWAB-NYA TERHADAP TUHAN, BANGSA DAN TANAH AIR

PECINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA PENCINTA ALAM

SEBAGAI MAHLUK YANG MENCINTAI ALAM SEBAGAI ANUGERAH TUHAN YANG MAHA ESA

Sesuai dengan hakekat diatas, kami dengan kesadaran menyatakan :

  1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan.
  3. Mengabdi kepada bangsa dam tamah air.
  4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
  5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antar pecinta alam sesuai dengan azaz pecinta alam.
  6. Berusaha saling membantu dan saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air.
  7. Selesai


Disusun dan disyahkan bersama dalam acara Gladian ke IV
di Ujung Pandang, tahun 1974

Rabu, 03 Juni 2009

mendaki gunung = menghargai hidup

Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.

Kamis, 28 Mei 2009

From TOileT to Camp

Kediri Renovasi gedung Student Centre (SC) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri ternyata menimbulkan masalah bagi beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mahaspala atau UKM bidang pecinta alam ini misalnya.

Sejak seminggu lalu UKM Mahaspala menempati camp sementara sebelum gedung SC siap huni. Tempat itu dapat dikatakan tidak layak, karena tepat berada di toilet mahasiswa gedung D. Menurut Aziz Wijayansyah ketua Mahaspala periode lalu, camp sementara yang berada di toilet itu tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah dapat dijadikan tempat koordinasi para anggota dan dapat menampung semua peralatan yang ada.

Saat ditemui Sabtu (2/5) dan ditanya tentang alasan memilih tempat tersebut, Aziz mengatakan, “Kita memilih tempat ini (toilet:red), karena sudah tidak berfungsi dan pompa airnya mati.” Menurutnya, keberadaan Mahaspala di tempat itu sempat dipermasalahkan oleh pihak akademik, namun karena pihak akademik tidak mempunyai solusi yang tepat sehingga toilet tersebut boleh ditempati.

Rencananya, pembangunan gedung SC STAIN Kediri akan siap huni pada bulan September yaitu saat tahun ajaran baru dimulai. (^_^)